Apa yang Diketahui Leader E-commerce Sukses (Yang Tidak Diketahui Pesaing)?

Blog
vaibhav-podcast-article

Setiap pemimpin e-commerce saat ini sedang menavigasi labirin perubahan channel, perilaku customer yang terus berevolusi, dan tekanan operasional yang makin besar. Ada yang tersandung, tetapi ada juga yang menemukan cara baru untuk sukses. Memang tidak ada satu pun roadmap tunggal untuk membangun bisnis e-commerce global yang berhasil, namun selalu ada pola dan jebakan (pitfalls) yang muncul berulang kali. 

Dalam obrolan yang luas ini, Vaibhav Dabhade, Founder dan CEO Anchanto, akan membedah beberapa pelajaran dan pengamatan paling krusial yang ia dapat selama membangun perusahaan tech global. 

Mulai dari proyek transformasi digital yang gagal hingga strategi D2C (Direct-to-Consumer) yang salah arah, beliau akan membagikan apa saja yang keliru dilakukan oleh para brand dan apa yang justru dilakukan oleh perusahaan-perusahaan paling sukses. 

Berikut adalah beberapa poin utama yang bisa kita ambil. 

1. Cross-Border Commerce Tidak Mati, Hanya Berevolusi

Tarif perdagangan (trade tariffs), peraturan yang berubah, dan volatilitas supply chain telah menambah friksi pada penjualan cross-border, terutama bagi perusahaan yang mengirim dari Asia ke Barat. Namun, alih-alih mati, e-commerce global justru beradaptasi. Para brand kini melakukan fulfillment dari nearshore hubs (pusat dekat lokasi pasar), memanfaatkan kemitraan lokal, atau memasuki marketplace regional untuk mempertahankan jangkauan tanpa mengorbankan profitabilitas. Ini bukan lagi tentang mengakali peraturan. Ini tentang bersikap fleksibel dalam cara, tempat, dan dari siapa Anda melayani basis konsumen yang sama. 

2. Anda Tidak Bisa ‘Mempersiapkan Masa Depan’, Tapi Anda Bisa Bereaksi Lebih Cepat 

E-commerce berubah sangat cepat. Model dan channel penjualan baru (seperti TikTok Shop) muncul tiba-tiba dan mencapai massa kritis dalam hitungan bulan. Brand yang menang bukanlah mereka yang mencoba memprediksi segalanya. Mereka adalah brand yang mampu bereaksi lebih cepat. 

Agilitas ini bergantung pada dua hal: 

  • Memiliki mitra teknologi yang berinvestasi pada R&D, melakukan pra-integrasi platform yang muncul, dan memberikan update cepat. 
  • Memperpendek waktu reaksi antara saat model baru mencapai basis pengguna yang signifikan dan saat brand Anda dapat mengambil tindakan atas hal tersebut. 

Pendekatan ini mengubah kemitraan tech menjadi keunggulan kompetitif. 

3. Banyak Proyek Transformasi Digital Gagal Karena Keputusan Tech yang Buruk 

Anchanto sering diminta untuk menyelamatkan beberapa Order Management System (OMS) dan digital rollouts yang gagal. Alasan paling umum untuk situasi ini adalah brand melakukan “copy-paste” solusi yang berhasil di satu negara dan berasumsi solusi tersebut akan berhasil di tempat lain. Padahal, Asia Tenggara, misalnya, jauh lebih terfragmentasi, bergerak cepat, dan sensitif terhadap biaya daripada banyak pasar Barat. Solusi yang berhasil di sini harus dibangun dan didukung dengan konteks lokal yang mendalam. 

Alasan lain mengapa brand membutuhkan infrastruktur OMS baru adalah karena mereka memilih sistem berbiaya rendah yang dirancang untuk UKM (SME) dan berharap sistem tersebut dapat scale up untuk kebutuhan sekelas Fortune 500. Teknologi yang dirancang untuk bisnis UKM seringkali tidak dapat menangani integrasi, rekonsiliasi, volume, atau keamanan yang kompleks. Akibatnya, sangat penting untuk mencocokkan tech stack Anda dengan realitas pasar, bukan dengan daftar keinginan tim keuangan Anda. 

4. Omnichannel Bukan Lagi Strategi. Itu Adalah Kebutuhan Mutlak. 

Omnichannel adalah tentang memberikan customer pengalaman yang konsisten di seluruh channel penjualan yang mereka sukai, misalnya: TikTok, online marketplaces, website brand, online chat, atau toko ritel offline. 

Kami melihat brand berinvestasi kembali pada ritel fisik bukan sebagai titik penjualan, tetapi sebagai lapisan penemuan dan pengalaman yang mendukung perilaku pembelian digital. Pengaturan endless aisle, in-store order taking, dan showrooming bukan lagi inovasi, tetapi sudah menjadi ekspektasi. 

5. D2C Bukan Solusi Ajaib

D2C sering dilihat sebagai cara bagi brand untuk mengontrol margin dan hubungan dengan customer. Namun, jika diterapkan secara ekstrem, hal itu justru bisa menjadi bumerang. Nike mengalami hal ini ketika mereka menarik diri dari para retailer. Pendekatan ini justru menjauhkan mereka dari mitra yang telah membangun keberadaan brand mereka. Hal ini juga memberi ruang bagi para pesaing untuk mengambil shelf space (ruang pajangan). D2C hanya berfungsi jika selaras dengan cara audiens Anda benar-benar ingin berbelanja. Kebanyakan konsumen saat ini menginginkan pilihan, bukan paksaan. Pelajarannya sederhana: jangan memaksakan strategi channel. Fasilitasi pilihan customer. 

6. Masih Ada Ruang Bagi 3PL Menengah Jika Mereka Berspesialisasi 

Penyedia layanan logistics berada di bawah tekanan biaya, dan brand kembali mengevaluasi apakah akan membangun in-house atau terus melakukan outsourcing. Meskipun pemain besar dengan layanan terdiversifikasi akan bertahan, 3PL berukuran menengah masih memiliki masa depan, jika mereka fokus pada spesialisasi

Mereka yang menawarkan layanan khusus, white-glove delivery (pengiriman premium), atau pengalaman last-mile yang luar biasa melihat permintaan yang nyata. Karena brand mulai memperlakukan delivery sebagai bagian dari customer experience (bukan hanya pusat biaya cost center), kualitas layanan kembali menjadi fokus. 

7. Status ‘CRAP’ Itu Nyata, dan Brand Harus Bangun 

Produk “Can’t Realize Any Profit” (CRAP) atau produk yang tidak menghasilkan keuntungan adalah hal yang umum di marketplace. Banyak brand mempertahankan listing atau terus menjalankan toko D2C dengan harapan mencapai profitabilitas. Padahal, harapan bukanlah strategi. 

Sekitar 20% hingga 35% pendapatan beberapa brand bisa hilang sebelum mencapai P&L (Profit and Loss). Itu karena pembatalan (cancellations), pengembalian (returns), dan refunds. Biaya-biaya ini terus membayangi, yang menjadikan isu-isu ini bukan sekadar masalah operasional, tetapi pembunuh P&L. 

8. Pengembalian dan Pembatalan Adalah Pembunuh Senyap Profit

Pengembalian tidak hanya menjengkelkan, tetapi juga mahal, boros, dan tidak berkelanjutan (unsustainable). Setiap $1 dalam pembatalan dapat memakan biaya $1.60 pada dampak bottom-line. Banyak brand keliru dalam memperlakukannya sebagai masalah logistics, padahal sebenarnya ini adalah masalah finansial. 

Dengan menerapkan insight berbasis AI (AI-driven insights), brand kini dapat mengantisipasi dan mengurangi pengembalian sebelum terjadi. Mereka hanya perlu memahami pemicu perilaku (behavioral triggers), mengidentifikasi product mixes yang buruk, atau menandai promosi yang berisiko (risky promotions). 

Sementara insight ini mengungkapkan apa yang dilakukan dengan benar oleh para pemimpin e-commerce yang sukses, sama pentingnya untuk memilah informasi dan mengenali tren mana yang benar-benar membentuk industri, dan mana yang sekadar hype belaka. 

Apa yang Benar-benar Overhyped (dan Underhyped) di E-commerce Hari Ini? 

Ruang e-commerce penuh dengan buzzwords yang mengilap dan ide-ide yang dianggap game changers. Tetapi jika dicermati lebih dekat, beberapa ide memang memberikan nilai, sementara yang lain sebagian besar hanya hype dengan dampak jangka panjang yang minim. Berikut adalah pandangan Vaibhav tentang beberapa buzzwords saat ini: 

1. AI Bukan Overhyped, Justru Underhyped 

Berbeda dengan buzzwords di masa lalu, AI menunjukkan ROI bisnis yang jelas hari ini. Mulai dari demand forecasting hingga personalisasi, AI punya banyak potensi. Selain itu, AI juga membuka potensi bagi sumber daya yang ada untuk pekerjaan yang lebih bernilai. 

Untuk e-commerce, use cases AI yang paling kuat akan berupa: 

  • Mengurangi customer support costs.
  • Memungkinkan personalisasi sejati (bahkan hingga katalog individual).
  • Menciptakan promosi yang didukung data dan anti-cancel.
  • Mendorong efisiensi operasional dalam skala besar.

2. Tarif (Tariffs) Adalah Overhyped 

Tarif sering digambarkan sebagai ultimate deal-breakers untuk e-commerce global, tetapi dampaknya sangat bergantung pada model bisnis. Ambil contoh Temu, marketplace dari Tiongkok yang budget-minded. Pada awal tahun 2025, AS menutup celah “de minimis”, yang sebelumnya memungkinkan impor berbiaya rendah di bawah $800 masuk bebas bea, yang menjadi dasar harga ultra-rendah Temu

Akibatnya: pengguna harian di AS anjlok hampir 48%, sementara laba bersih dan app engagement turun tajam. Temu merespons dengan memotong iklan, mengenakan biaya tambahan impor yang curam [1], kadang-kadang lebih dari 140%, dan berputar ke model fulfillment lokal, di mana barang disimpan dan dikirim di dalam negeri untuk menghindari bea masuk baru. 

3. CDP (Customer Data Platform) Adalah Overhyped 

Ada banyak perbincangan di ruang rapat (boardroom chatter) tentang Customer Data Platforms (CDPs). Mereka menjanjikan single view tentang customer, tetapi terlalu sering, diskusi berubah menjadi siklus hype big data lainnya. Banyak perusahaan akhirnya memiliki sistem mahal yang mengumpulkan informasi tetapi kesulitan menerjemahkannya menjadi insight yang benar-benar actionable atau dampak bisnis yang terukur. 

4. Influencer Marketing dan Live Commerce Adalah Overhyped 

Influencer marketing ada di mana-mana, tetapi efektivitasnya sering dinilai dari jangkauan dan engagement daripada konversi yang sebenarnya. Tanpa mengaitkan campaign dengan revenue, hal itu dengan cepat menjadi vanity exercise yang mahal. Demikian pula, live commerce mungkin berhasil di pasar di mana konsumen secara alami cenderung berbelanja dengan cara itu, tetapi di wilayah di mana browsing habits tidak cocok, ini berubah menjadi unsustainable investment. 

Final Thoughts

E-commerce bukan lagi sekadar menjual online. Ini tentang membangun sistem, kemitraan (partnerships), dan strategi yang mampu beradaptasi terhadap perubahan konstan. Perjalanan Anchanto dan pengalaman Vaibhav menunjukkan bahwa kesuksesan tidak datang dari mengejar tren atau memangkas biaya. Kesuksesan datang dari pemahaman terhadap perilaku konsumen, menghormati realitas pasar lokal, dan membuat keputusan teknologi yang mendukung kecepatan, ketahanan (resilience), dan pertumbuhan jangka panjang. 

Seperti yang Vaibhav katakan, “Harapan bukanlah sebuah strategi. Bereaksi lebih cepat. Dengarkan lebih banyak. Bangun dengan cerdas.” 

Untuk insight yang lebih unfiltered dan pelajaran dari dunia nyata, tonton obrolan lengkap bersama Vaibhav Dabhade di YouTube. 

FAQs

1. Apa itu produk “CRAP” dalam e-commerce? 

CRAP adalah singkatan dari “Can’t Realize Any Profit” (Tidak Dapat Menghasilkan Keuntungan). Ini adalah produk yang memang menghasilkan sales tetapi pada akhirnya menguras profitabilitas karena tingginya biaya pengembalian (returns), pembatalan (cancellations), atau biaya logistics, sehingga tidak berkelanjutan bagi brand untuk terus dijual. 

2. Apa arti omnichannel dalam ritel dan e-commerce? 

Omnichannel mengacu pada penciptaan pengalaman berbelanja yang konsisten dan terhubung di berbagai customer touchpoints, baik itu online marketplaces, platform sosial, website brand, atau toko fisik. Tujuannya adalah memberikan customer fleksibilitas untuk membeli di mana dan bagaimana mereka suka, tanpa hambatan. 

3. Apa peran AI dalam operasi e-commerce modern? 

AI membantu brand e-commerce mengurangi biaya, meningkatkan personalisasi, dan membuat keputusan berbasis data. AI dapat mendukung promosi yang lebih cerdas, memprediksi pembatalan atau pengembalian, dan mengoptimalkan customer support, membuat operasi lebih cepat dan lebih menguntungkan. 

Referensi:

[1] – Cnbc.com – Temu adds ‘import charges’ of about 145% after Trump tariffs, more than doubling price of many items

About cookies on this site

We use cookies to collect and analyse information on site performance and usage, to provide social media features and to enhance and customise content and advertisements. Learn more

Necessary cookies

Some cookies are required to provide core functionality. The website won't function properly without these cookies and they are enabled by default and cannot be disabled.

Analytical cookies

Analytical cookies help us improve our website by collecting and reporting information on its usage.

Marketing cookies

Marketing cookies are used to track visitors across websites to allow publishers to display relevant and engaging advertisements.

300 ke 5,500 order per hari? Intip cara ERHA Skincare atasi lonjakan ini | Dengarkan Ceritanya >